Irak: Basra Desak Otonomi ala Kurdistan, Ekonomi Jadi Pemicu?

Baghdad, 26 September 2025 – Gelombang seruan untuk pemisahan Basra semakin menggema di tengah Irak yang masih rapuh pasca konflik berkepanjangan. Pendukung federalisme di provinsi kaya minyak ini baru saja mengambil langkah berani dengan mengajukan permohonan resmi ke Komisi Pemilihan Umum Irak. Mereka berharap bisa mengumpulkan tanda tangan dari 2 persen pemilih terdaftar di Basra, sebagai syarat utama untuk menggelar referendum pembentukan wilayah otonom serupa Kurdistan di utara.

Langkah ini bukan sekadar mimpi kosong, melainkan didasari undang-undang konstitusi Irak yang membuka pintu bagi provinsi mana pun untuk menuntut status wilayah federal. Baik melalui referendum rakyat maupun dukungan sepertiga anggota dewan provinsi, aturan itu menjadi pegangan kuat bagi para aktivis Basra. Namun, di balik euforia tersebut, masyarakat setempat terbelah tajam antara pendukung yang melihatnya sebagai jalan keselamatan dan penentang yang khawatir akan disintegrasi negara.

Pemerintah pusat di Baghdad menunjukkan sikap ambigu terhadap inisiatif ini, dengan dukungan bersyarat yang lebih mirip peringatan daripada restu. Perdana Menteri Mohammed Shia al-Sudani, meski belum angkat bicara secara langsung, disebut-sebut sedang mempertimbangkan implikasi nasional dari referendum semacam itu. Sementara itu, para pemimpin Syiah di selatan Irak, yang mayoritas mendominasi Basra, khawatir langkah ini bisa memicu efek domino di provinsi lain seperti Najaf atau Karbala.

Permintaan otonomi Basra sebenarnya bukan barang baru di panggung politik Irak. Sejak era pasca-Saddam Hussein, isu ini muncul dan tenggelam berulang kali, sering kali terhambat oleh ketegangan etnis dan konflik sipil. Tahun 2019, misalnya, demonstrasi besar-besaran di Basra menuntut reformasi, tapi kini berubah menjadi tuntutan struktural yang lebih radikal. Kendala utama tetap sama: birokrasi pusat yang lamban dan intervensi militer yang tak diundang.

Di tengah hiruk-pikuk itu, pertanyaan mendasar muncul: apakah ketimpangan ekonomi menjadi pemicu utama keinginan ini? Beberapa fakta ekonomi menyoroti perbedaan mencolok antara pendapatan per kapita di Kurdistan, yang mencapai sekitar 11 ribu dolar AS per tahun, dengan wilayah lain di luar sana yang hanya merangkak di angka 4 ribu dolar. Data dari Bank Dunia menegaskan, stabilitas Kurdistan sejak 1990-an telah mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 200 persen lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.

Basra, sebagai jantung ekspor minyak Irak dengan cadangan terbesar di selatan, ironisnya justru menjadi korban ketidakadilan distribusi kekayaan. Meski menyumbang hingga 70 persen pendapatan minyak negara, penduduknya merasakan manfaat minim karena harus berbagi dengan wilayah lainnya. 

Pendapatan per kapita di provinsi ini, menurut laporan terbaru Organisasi Internasional Migrasi, bahkan lebih rendah dari rata-rata nasional, di mana 52 persen pendatang ke Basra mengeluh soal kurangnya peluang ekonomi.

Ketimpangan ini bukan rahasia lagi di kalangan warga Basra, yang melihat Kurdistan sebagai model sukses. Wilayah utara itu, dengan otonomi semi sejak Perang Teluk 1991, berhasil membangun infrastruktur mandiri berkat pengelolaan langsung atas sumber daya alamnya. Pendapatan 11 ribu dolar per kapita di sana didorong oleh investasi asing dan diversifikasi ekonomi, sementara di Basra, dana minyak sering kali harus dibagi rata.

Ya, ekonom menjadi katalisator utama, tapi bukan satu-satunya. Analis politik di Universitas Baghdad menilai, ketidakpuasan ekonomi di Basra diperparah oleh marginalisasi politik, di mana provinsi Syiah ini merasa tidak punya keistimewaan dibandingkan Kurdistan Irsk. Survei IOM tahun lalu mengungkap, 70 persen warga Basra merasa diabaikan oleh pemerintah provinsi dan nasional, lebih percaya pada pemimpin tribal daripada pejabat resmi.

Referendum otonomi ala Kurdistan dianggap sebagai solusi radikal untuk memutus lingkaran setan ini. Pendukung berargumen, dengan status wilayah federal, Basra bisa mengelola 17 persen anggaran nasional yang proporsional dengan kontribusi minyaknya, mirip bagaimana Kurdistan menerima jatahnya. Ini berpotensi melonjakkan pendapatan per kapita hingga mendekati level utara, dengan proyek seperti pembangkit listrik tenaga surya 1 GW yang baru saja disepakati dengan TotalEnergies.

Namun, penentang otonomi tak tinggal diam. Kelompok nasionalis Syiah, termasuk milisi Hashd al-Shaabi, memperingatkan otonomi Basra bisa memicu konflik baru, mengingat provinsi ini menjadi pintu gerbang perdagangan melalui pelabuhan Umm Qasr. Mereka menyoroti, meski ada ketimpangan, Irak tetap satu kesatuan yang rapuh, dan referendum semacam itu berisiko mengundang intervensi asing.

Pemerintah pusat, dalam respons tidak langsung, menekankan komitmen untuk reformasi ekonomi nasional. Kesepakatan trilateral senilai 27 miliar dolar dengan TotalEnergies dan QatarEnergies di ladang Ratawi Basra disebut sebagai bukti niat baik Baghdad untuk membagi kekayaan. Tapi, bagi aktivis lokal, ini hanyalah setetes air di lautan ketidakadilan, di mana mismanajemen membuat kebuntuan ekonomi.

Dampak sosial dari gerakan ini sudah terasa di jalanan Basra. Demonstrasi damai minggu lalu menarik ribuan orang, tapi juga memicu bentrokan kecil dengan polisi. Media lokal melaporkan, 49 persen migran ke Basra datang karena perubahan iklim yang memperburuk kekeringan, tapi ketimpangan ekonomi menjadi alasan utama ketidakpuasan. Video seruan otonomi yang viral justru mempercepat polarisasi ini.

Secara historis, aspirasi otonomi Basra mirip dengan perjuangan Kurdish di utara, yang lahir dari represi Saddam. Bedanya, Basra lebih fokus pada isu ekonomi daripada etnis, meski keduanya berakar pada sentralisasi kekuasaan yang gagal. Laporan BTI 2024 menempatkan Irak di peringkat 121 Indeks Pembangunan Manusia, dengan ketidaksetaraan gender dan ekonomi sebagai titik lemah utama.

Para pendukung federalisme kini berpacu dengan waktu untuk mengumpulkan tanda tangan, targetkan akhir tahun ini. Jika berhasil, referendum bisa digelar tahun depan, mengubah peta politik Irak secara dramatis. Tapi, kendala hukum tetap mengintai, termasuk persyaratan dukungan dewan provinsi yang saat ini terpecah.

Dari sisi internasional, gerakan ini menarik perhatian Washington dan Brussels, yang melihatnya sebagai ujian stabilitas pasca- pendudukan AS yang menumbangkan Saddam Hussein. AS, yang pernah mendukung otonomi Kurdistan, kini khawatir efek domino di selatan bisa mengganggu aliran minyak global. Sementara itu, Iran, sekutu utama Baghdad, disebut-sebut akan menentang keras inisiatif ini demi menjaga pengaruhnya di provinsi Syiah.

Ekonomi tetap menjadi benang merah utama. Dengan PDB per kapita nasional Irak hanya sekitar 4-5 ribu dolar, perbedaan dengan Kurdistan yang 11 ribu dolar menjadi simbol kegagalan redistribusi. Di Basra, di mana 1 juta penduduk bergantung pada minyak, ketimpangan ini memicu migrasi informal dan urbanisasi liar, memperburuk kerentanan iklim seperti banjir dan kekeringan.

Akhirnya, apakah keinginan otonomi Basra benar-benar dipicu ketimpangan ekonomi? Jawabannya ya, tapi dengan lapisan kompleks. Pendapatan Kurdistan yang tiga kali lipat membuktikan manfaat otonomi, sementara Basra merana di bawah bayang-bayang Baghdad. Gerakan ini, jika tak ditangani bijak, bisa menjadi bom waktu bagi persatuan Irak.

Pemerintah al-Sudani dihadapkan pilihan sulit: reformasi cepat atau biarkan api federalisme membesar. Sementara itu, warga Basra terus berharap, di antara mimpi otonomi dan ketakutan perpecahan. Hanya waktu yang akan menentukan apakah Basra bangkit sebagai wilayah mandiri atau tetap terperangkap dalam jerat ketidakadilan lama.

Di balik semua itu, Irak tetap negara minyak yang rapuh, di mana kekayaan alam justru belum dinikmati warga secara merata. Seruan Basra ini, setidaknya, membuka diskusi nasional tentang keadilan ekonomi, sesuatu yang selama ini terabaikan di tengah hiruk-pikuk politik identitas.

Pages