Warga Palestina-Suriah Bangkit Perjuangkan Hak Properti

Perjuangan warga Palestina di Suriah memasuki babak baru. Di tengah keterbatasan yang diwariskan oleh regulasi pemerintahan Bashar al-Assad, mereka kini semakin gencar menyuarakan hak untuk diperlakukan setara dalam kepemilikan properti. Suara-suara itu lahir dari pengalaman panjang diskriminasi yang dirasakan selama bertahun-tahun, tetapi semangat mereka tetap teguh dan optimis bahwa perubahan suatu saat akan tercapai.

Awalnya, situasi warga Palestina-Suriah sempat berada di jalur yang positif. Undang-Undang No. 260 tahun 1956 menegaskan bahwa warga Palestina memiliki kedudukan hukum yang sama dengan warga Suriah dalam hal pekerjaan maupun perdagangan. Aturan ini dianggap sebagai bentuk solidaritas nyata yang memberi mereka ruang untuk hidup layak di negeri pengasingan.

Namun, keadaan berubah drastis sejak tahun 2011. Ketika Undang-Undang No. 11 mulai berlaku, kepemilikan properti bagi warga asing, termasuk warga Palestina, mulai dibatasi. Meski awalnya terdapat pengecualian khusus, celah hukum itu kemudian ditutup oleh Keputusan No. 105 pada tahun 2022.

Keputusan terbaru ini mempersempit hak warga Palestina-Suriah. Mereka diperlakukan sebagai orang asing, bukan lagi sebagai saudara yang berbagi tanah air kedua. Properti yang mereka miliki tidak bisa diwariskan secara adil, melainkan berpotensi diserahkan kepada negara jika pemilik meninggal. Situasi ini menimbulkan keresahan, tetapi juga memantik gelombang perlawanan hukum dan sosial.

Batasan luas properti yang hanya 140 meter persegi serta aturan satu rumah per keluarga semakin memperlihatkan diskriminasi. Padahal, banyak keluarga Palestina yang berkembang di kamp-kamp pengungsian Suriah membutuhkan ruang lebih luas untuk hidup layak. Meski demikian, semangat untuk memperjuangkan keadilan tetap menyala.

Advokat Ghayath Dabour menjadi salah satu suara lantang yang mendukung perjuangan ini. Ia menegaskan bahwa Keputusan No. 105 bertentangan dengan semangat Undang-Undang 1956 yang pernah menjadi dasar kesetaraan. Baginya, kembalinya status setara adalah kunci bagi masa depan warga Palestina-Suriah.

Lebih jauh, perjuangan ini bukan semata soal properti, melainkan juga soal martabat. Kepemilikan rumah menjadi simbol keberadaan dan stabilitas hidup, apalagi bagi komunitas yang sejak lama hidup dalam status pengungsi. Warga Palestina-Suriah percaya bahwa memiliki hak setara adalah bagian dari menjaga identitas dan kelangsungan generasi.

Di berbagai kesempatan, warga Palestina menunjukkan keteguhan hati. Mereka menggelar forum, berdiskusi dengan pengacara, dan mengajukan tuntutan hukum. Langkah-langkah kecil ini menunjukkan keyakinan bahwa hukum bisa kembali ditegakkan dengan adil.

Meskipun menghadapi birokrasi ketat, warga Palestina-Suriah tidak surut. Mereka menyadari bahwa perjuangan hukum selalu membutuhkan waktu, tetapi keadilan tidak akan datang jika tidak diperjuangkan. Semangat ini membuat isu properti menjadi simbol perlawanan damai yang terus menguat.

Optimisme ini juga didorong oleh solidaritas antar komunitas. Banyak warga Suriah yang menyadari ketidakadilan tersebut dan ikut menyuarakan pembatalan Keputusan No. 105. Dukungan moral semacam ini menjadi bahan bakar perjuangan warga Palestina-Suriah untuk tetap percaya bahwa perubahan bisa terjadi.

Para pengacara dan aktivis hak asasi manusia di Suriah juga melihat peluang. Mereka menilai ada dasar hukum kuat untuk menolak Keputusan No. 105 karena bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang sudah diakui sejak lama. Argumentasi ini perlahan mulai menggema di ruang publik.

Di balik semua tekanan, warga Palestina-Suriah tidak kehilangan harapan. Mereka melihat bahwa sejarah selalu berpihak pada mereka yang sabar dan gigih memperjuangkan haknya. Setiap suara yang disuarakan hari ini adalah pondasi bagi kebebasan generasi mendatang.

Kamp-kamp pengungsian yang dulunya menjadi simbol penderitaan kini justru melahirkan kekuatan kolektif. Dari lorong-lorong sempit itulah lahir kesadaran bahwa keadilan bisa diraih melalui persatuan dan keberanian berbicara. Optimisme itu menular ke banyak lapisan masyarakat.

Perjuangan ini juga menegaskan kembali identitas warga Palestina. Mereka bukan hanya pengungsi, melainkan bagian penting dari sejarah Suriah modern yang berhak hidup setara. Kembali pada semangat Undang-Undang 1956 dianggap sebagai bentuk rekonsiliasi dan penghormatan terhadap sejarah panjang kebersamaan.

Di tingkat internasional, perjuangan warga Palestina-Suriah mendapat perhatian. Isu properti ini menjadi bagian dari diskursus lebih besar tentang hak-hak pengungsi Palestina di seluruh dunia. Dukungan global semakin memperkuat posisi mereka dalam menuntut keadilan.

Bagi warga Palestina-Suriah, satu rumah bukan sekadar bangunan. Itu adalah benteng kenangan, tempat menjaga keluarga, dan simbol ketahanan di tengah pengasingan. Karena itu, mereka tak akan berhenti memperjuangkan hak atas rumah sebagai hak dasar yang tak bisa dicabut.

Setiap kali sebuah keluarga Palestina mampu mempertahankan hak propertinya, itu menjadi kemenangan kecil yang menginspirasi banyak lainnya. Kisah-kisah seperti ini terus memotivasi komunitas untuk melangkah lebih jauh.

Masa depan perjuangan ini masih panjang, tetapi optimisme jelas terlihat. Warga Palestina-Suriah percaya bahwa hukum yang adil pasti akan menang atas diskriminasi. Keyakinan itu menjadi pijakan untuk terus melangkah ke depan.

Kini, suara warga Palestina-Suriah semakin terdengar. Mereka tidak lagi diam, melainkan berani menuntut haknya secara sah dan bermartabat. Perjuangan mereka menjadi teladan bahwa meski dalam keterbatasan, semangat untuk meraih keadilan tak akan pernah padam.

Dengan semangat solidaritas, keberanian, dan keyakinan, perjuangan warga Palestina-Suriah terus berjalan. Mereka percaya, suatu hari nanti pembatasan properti yang mengekang akan dihapuskan, digantikan oleh keadilan yang memberi ruang bagi semua. Harapan itu kini semakin kuat, sekuat tekad mereka menjaga identitas dan martabat sebagai manusia merdeka.

Pages