Ternyata Probosutedjo Anak Siantar

Anak Siantar dari Kemusuk


Membayangkan di Medan ada banyak perantauan Jawa, terutama orang-orang seasal dari desa Kemusuk, Yogyakarta, Probosutedjo pergi merantau ke Medan, menaiki kapal laut KPM Merak. Dengan modal uang hasil gaji dari Koperasi Kas Desa ditambah penjualan sepeda pemberian kakaknya, Soeharto, berikut tas kulit pemberian kakak iparnya Hardjoriyatmo berisi dua potong pakaian, dia menempuh perjalanan tiga hari dua malam bersama dua orang sahabatnya, yakni Redjo dan Sudjojo, keduanya sudah berkeluarga. Mendarat di Belawan 1 Mei 1951, bertepatan hari ulang tahunnya ke-21.

Probo sangat yakin, apabila tiba di Medan dan bertemu sesama kerabat, pastilah ia tak akan kelaparan. Setibanya di
pelabuhan Belawan, Probo dan dua sahabatnya berangkat menuju rumah kediaman salah seorang saudara Redjo, di desa Dolok Baturaja, Sinaksak, Pematang Siantar, sekitar 120 kilometer ke arah selatan kota Medan atau enam kilometer dari kota Pematang Siantar.


Probo lalu dipersilakan tinggal bersama di situ. Sampai tanggal 10 Mei 1951, dia hanya makan tidur, menganggur. Ia lalu teringat Pak Slamet, asal desa Kemusuk, yang diketahuinya tinggal di Bah Tanggur, Tangga Batu, Blimbingan, Kabupaten Simalungun. Ketika Probo bersama temannya pergi menuju Blimbingan, ia lalu menyaksikan hutan belantara.
Probosutedjo tetap senang. Satu-satunya pekerjaan yang tersedia di Blimbingan hanyalah di Panglong menjadi penebang kayu besar berdiameter 80 hingga 150 sentimeter. Lalu, Probo sesuai kondisi harus tinggal di Panglong itu, menumpang di tempat Pak Slamet, bangsal para penebang kayu.


Oleh Slamet dan isterinya, Probo dianggap sebagai anak karena suami isteri itu tidak punya anak dan juga tahu siapa Probo yang baru datang ke Bah Tongguran, Tangga Batu, Kabupaten Simalungun itu. Usia Pak Slamet ketika itu, kira-kira 40-an tahun. Probo bersama Slamet dan isterinya tinggal di Panglong (penggergajian kayu) di tengah hutan belantara. Anehnya Probo tidak pernah mengeluh.


Namun hanya 10 hari, tepatnya tanggal 20 Mei tinggal di situ, ia sudah mendapatkan pekerjaan. Kebetulan Kerani Panglong memperoleh pekerjaan di Pematang Siantar sehingga Probo ditawari menjadi Kerani di Panglong yang dipimpinan oleh Mandor Tahir asal dari Padang tetapi mahir berbahasa Jawa yang halus. Bukan main gembira dan penuh rasa syukurnya hati Probo.


Baru sebulan menjadi kerani panglong, pada suatu hari di akhir bulan Juni 1951, tiba-tiba datang berita baru yang sangat mengasyikkan. Sahabat Probo yang sama-sama berangkat merantau satu kapal ke Medan, Pak Sudjojo, yang baru pulang dari Serbelawan, memberitahu telah bertemu dengan Pak Sukardji, seorang pendiri dan pemilik sekolah. Pak Sukardji mengatakan kepada Sudjojo, SMP Perguruan Kita di Serbelawan membutuhkan seorang guru. Saat itu Sudjojo, sudah mendesak Sukardji agar Probo bisa mengisi lowongan guru tersebut. Nah, giliran ketemu Probo, Sudjojo mendorong agar sahabatnya itu bersedia melamar sebagai guru.


Probo tak segera mengiyakan. Dia ragu sebab dia hanya sampai kelas dua SMEA. Tetapi Sudjojo terus mendorongnya. Sebab ketika itu orang mengecap pendidikan sampai kelas dua SLTA masih sangat langka. Akhirnya Probo bersedia mengikuti tes guru. Setelah dites mengajar, Probo menyadari peluangnya diterima menjadi guru sangatlah kecil. Lalu dia meminta agar diberi kesempatan tes mengajar langsung di depan kelas.


Permintaannya dipenuhi. Saat tampil di depan kelas, semua murid terpana menyaksikan bagaimana Probo mengajar. Mereka tertarik dan meluluskan Probo. Terhitung sejak Juli 1951, Probo menjadi guru di SMP Perguruan Kita, Serbelawan, Pematang Siantar, Simalungun.


Lalu pada hari ulang tahun Kemerdekaan RI 17 Agustus 1951, Probo telah memimpin siswa ziarah ke makam para pahlawan/pejuang yang wafat bertempur melawan penjajah (Belanda) di Bandar Laras, sekitar tiga kilometer dari Serbelawan ke arah bandar Betsi dan Pematang Bandar.

Guru SMP Progresif
Probo sama sekali tak pernah membayangkan akan menjadi guru. Hingga di usia senjanya, ia tetap merasakan aneh dan kaget, koq bisa-bisanya menjadi guru. Apalagi bila mengenang saat-saat pertama kali mengajar. Ia lalu menganggap, menjadi guru adalah jalan pemberian Tuhan.


Pedoman Probo sebagai guru sederhana. Bahwa guru itu harus digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani). Sedangkan dalam keseharian hidup, sebagai orang Jawa, Probo merasa hanya bertindak sebagai wayang saja dan ngelakoni semeleh.
Tak lama, pada tahun berikutnya sebagai guru, jumlah murid di SMP Perguruan Kita, tempatnya mengajar, bertambah banyak saja. Pada tahun kedua, SMP Perguruan Kita menambah lagi dua guru yakni Sayono dan Kasirun Saragih. Karena jumlah murid makin banyak hampir mencapai 1.000 murid dengan uang sekolah pada waktu itu Rp 200.


Kesibukan Probo sebagai guru bertambah pula. Ia dipercaya mengajar semua mata pelajaran. Lalu terbersit dalam pikirannya sudah saatnya meminta kenaikan gaji. Ketika itu dia menerima gaji Rp 150 perbulan, sebelum dipotong Rp 75 untuk biaya sewa kamar dan makan di rumah sang pemilik sekolah, Pak Sukardi.


Namun pemilik sekolah tak mengabulkan, dengan alasan yang tidak jelas menunda sementara permintaan Probo. Probo mendesak meminta ketegasan. Permintaan akhirnya dikabulkan walau tak sesuai harapan. Probo kemudian mencari jalan keluar lain megatasi kesulitan hidup, hingga muncullah gagasan mendirikan sekolah sendiri.


Probo, bersama tiga orang sahabat sesama guru sepakat keluar dan mendirikan sekolah sendiri, tahun 1953. Mereka mendirikan SMP Nasional, yang kemudian berubah menjadi SMP Progresif, berlokasi di daerah Serbelawan, Simalungun, sekitar 12 kilometer arah utara Pematang Siantar. Probo menjadi kepala sekolah.


Kemudian, Probo mengirim surat kepada kakaknya, Letkol Soeharto, Komandan Resimen di Surakarta, untuk meminta bantuan. Tetapi Soeharto malah hanya memberi saran. Jika ingin membangun sekolah sebaiknya mengumpulkan dana dari masyarakat. Probo awalnya kecewa. Namun memang tiada jalan lain selain yang disarankan Soeharto. Probo harus berusaha keras menarik simpati murid dan orangtua murid, demikian pula anggota masyarakat lainnya, yakni dengan menujukkan keteladanan, rasa percaya diri yang tinggi, citra diri sebagai pendiri sekolah, serta sebagai kepala sekolah, yang bisa ditunjukkan dengan kerja keras.


Keteladanan, misalnya, sikap Probo sebagai guru dan kepala sekolah yang berdisiplin tinggi dan tepat waktu. Probo membiasakan diri sudah tiba di sekolah sebelum yang lain datang, sebaliknya, ia tak akan pulang ke rumah jika masih ada guru yang lain berada dan bekerja di sekolah. Ia juga membina terus-menerus sopan santun dan pergaulan di lingkungan sekolah dan masyarakat.


Akhirnya citra sekolahnya makin baik. Murid pun bertambah banyak. Setelah itu, Probo mengusulkan agar sekolahnya dinegerikan. Dengan menjadi sekolah negeri, Probo berharap akan makin banyak anggota masyarakat yang dapat menikmati pendidikan dengan biaya terjangkau.


Kendati Probo terpaksa harus membayar mahal idealismenya itu, bahkan menjadi martir di atas keberhasilannya. Ia tak menghiraukan saran dan peringatan teman-temannya, agar SMP Progresif tidak dinegerikan. Sebab setelah menjadi sekolah negeri, ia tidak lagi diperkenankan menjadi guru, apalagi sebagai kepala sekolah. Sebab sesuai syarat administratif sekolah negeri, guru-gurunya harus mempunyai ijazah SGA. Padahal, Probo hanyalah lulusan kelas 2 SMEA. Probo rela ‘terbuang’ dari sekolah yang didirikannya.


Namun Probo berpikiran lain, dia rela dan tetap bangga dan tak sedikit pun menyesal. Bahkan menganggapnya sebagai kehormatan saat sekolah yang didirikannya diterima pemerintah menjadi sekolah negeri. Probo rela, melakukan semua itu demi anak-anak bangsa agar mereka mendapat pendidikan yang layak, murah dan terjangkau. Mencintai anak-anak bangsa sudah merupakan kepuasan tersendiri bagi Probo. Yaitu, kepuasan batin karena dapat menolong anak-anak miskin menjadi lebih maju dalam pendidikan.

Beralih ke Taman Siswa
Setelah meninggalkan SMP Progresif, sebuah kehormatan dan hadiah awal dalam perjalanan hidupnya yang masih panjang, lalu ia mengajar di Perguruan Taman Siswa, Pematang Siantar. Di perguruan ini, dia mengabdi dari 1957 sampai 1963.


Dia menyandarkan seluruh hidupnya sebagai guru, dengan gaji sangat minim. Probo menjalaninya dengan senang hati dan penuh rasa syukur. Sedikit sisa gajinya ia belanjakan membeli buku-buku, khususnya buku sejarah, untuk menambah pengetahuan. Probo, kemudian menyempatkan diri belajar dan mengikuti ujian extrani SGA dan lulus, kemudian mengikuti belajar tertulis B1 Sejarah.


Saat itu, Probo yang masih lajang tinggal di sebuah kamar yang dapat ditempati oleh tiga orang, milik Pak Sukasman. Dia menumpahkan hampir seluruh tenaga dan waktunya untuk mengajar di berbagai sekolah. Pagi hari pukul 07.00-13.00 mengajar di SMP Taman Dewasa, pukul 14.00-18.00 mengajar di SMA Taman Siswa, lalu pukul 19.00-21.00 mengajar di sebuah sekolah China. Di SMP Taman Dewasa, Probo juga mengajar Ilmu Pasti Alam, Aljabar dan Ilmu Ukur, hasil belajar secara otodidak.

Menemukan Istri yang Kuat
Selama 12 tahun merantau ada banyak pahit getir dan kenangan manis yang dia alami. Terlebih, sebagai anak lajang, adalah jamak manakala muncul godaan asmara. Saling jatuh hati lalu berpisah lagi. Untunglah Probo mengelola pergulatan asmaranya berjalan biasa saja mengalir seperti air. Probo mengendalikan diri untuk tidak sampai jatuh hati, apalagi patah hati.


Sampai kemudian, dia berkenalan dengan Ratmani, seorang guru lulusan SGA. Pada awalnya juga mengalir biasa saja. Pertemuan demi pertemuanlah yang akhirnya membuat Probo merasakan ada sebuah guncangan baru, sebab setiap berjumpa ada saja sesuatu yang istimewa terasakan.


Setelah meminta bantuan teman-teman guru untuk menyertai, Probo akhirnya memberanikan diri melamar Ratmini sebagai istri. Mereka menikah pada 11 Juni 1961, tanpa seorang pun saudara Probo menghadirinya. Probo hanya mengirim undangan melalui surat kepada sudara-saudara di Jawa, meminta doa restu, termasuk kepada kakaknya Soeharto yang sudah bermukim di Jakarta.


Pasangan Probosutedjo-Ratmani dikaruniai enam orang anak, yakni Dinarti, Septanto, Rita, Wati, Rani dan Priasto. Bagi Probo, Ratmani tak sebatas sebagai isteri dan ibu dari kelima anaknya, melainkan lebih dari itu. Bagi Probo, istrinya adalah manusia yang kuat, penuh pengertian, dan berani berkorban.
Pada diri Ratmani, Probo menemukan pendamping yang kuat, dan sesuai dengan pitutur leluhur yakni bibit, bebet, dan bobot.



Artinya, istrinya berasal dari ketururunan orang yang baik (bibit), pendidikannya tidak terlau rendah (bobot), dan bisa mendatangkan keturunan yang baik pula (bebet). Sebagai pendamping, Probo menaruh hormat dan menghargai Ratmani. Ratmani bisa diajak berpikir maju dan bergandengan tangan dengan suami menyongsong masa depan.


Probo sering meninggalkan Ratmani hingga berbulan-bulan, tatkala mulai terjun ke kancah bisnis. Bahkan kelahiran anak kedua, Septanto, sudah tak lagi ditunggui Probo. Ada perasaan bersalah terhadap istrinya, namun itu harus dilakukan demi masa depan keluarga dengan kerja keras.


Ketika memutuskan terjun menjadi pedagang, sejak tahun 1963, Probo seringkali berada di Jakarta menjadi kepala perwakilan sebuah perusahaan asal Medan, di Jakarta. Risikonya, Ratmani harus membesarkan dan mengatasi anak tanpa ada yang membantu. Uang yang mereka miliki ketika itu masih pas-pasan dari gaji seorang guru SD tak mungkin mampu membayar pembantu.

Sumut Kawah Candradimuka
Probo merasakan kehormatan mendapatkan jodoh di perantauan, berumah tangga, mempunyai keturunan, sehingga lengkaplah rasanya sebagai manusia. Selama 12 tahun merantau, Probo berhasil membangun dan memiliki hubungan batin yang sangat erat dengan masyarakat di perantauan. Sumatera Utara telah menjadi tanah kelahiran kedua bagi Probo, setelah desa Kemusuk di Yogyakarta.


Bahkan, Sumatera Utara adalah ibarat “kawah candradimuka” bagi Probo, sebab di sana dan dari sanalah ia mempersiapkan masa depan. Ia memiliki kekayaan batin sebagai guru di Sumatera Utara, inspirasi bakatnya sebagai pedagang juga muncul di Sumatera Utara.


Budaya Sumatera Utara malah sangat menarik perhatiannya. Banyak lagu kenangan dari daerah Tapanuli yang disenangi dan dihafalnya, karena lirik dan irama lagu itu selalu gembira dan penuh nasihat.


Kesadaran sebagai kepala rumah-tangga, yang harus bertanggungjawab menafkahi istri dan anak-anak, itulah yang mendorong Probo untuk meninggalkan Pematang Siantar, menjadi pedagang, pebisnis hingga menjadi konglomerat di kota Jakarta. Namun dia tak pernah melupakan jati diri yang mencintai rakyat kebanyakan. Karenanya, ia juga aktif di berbagai bidang sosial, pendidikan, keagamaan dan di sejumlah ladang pengabdian lainnya.

Pages